Sabtu, 22 September 2007

Tentang Rokok atau Kretek


Riwayat Kretek

Riwayat kretek bermula di Kudus. Menjadi dagangan paling memikat di tangan pengusaha buta huruf. Sayang asal usulnya masih gelap.

Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat tentang rokok kretek. menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Sakitnya reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.

Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya. Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir.

Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "kemeretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus "klobot" atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 , tanpa selubung kemasan sama sekali.

Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu dengan penemunya Djamari diketahui meninggal pada1890. Siapa dia dan asal-usulnya hingga kini masih remang-remang. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus.

Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di ndonesia.

Beberapa abad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roto Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.

Awal usaha Kretek

Nitisemito sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau keMalang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.

Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.

Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor.

Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.

Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).

Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta

Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing



Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.

Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.

Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.

Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.

Di era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan.

Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa



Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan.

Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.

Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.

Bahan Pembuat Kretek:



1. Cengkeh



Cengkeh (Syzygium aromaticum,syn. Eugenia aromaticum), dalam bahasa Inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Cengkeh ditanam terutama di Indonesia (Kepulauan Banda) dan Madagaskar, juga tumbuh subur di Zanzibar, India, dan Sri Lanka.

Pohon cengkeh merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 m, mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucuk-pucuknya. Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga sudah mekar. Cengkeh akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1,5-2 cm.

Penggunaan

Cengkeh dapat digunakan sebagai bumbu, baik dalam bentuknya yang utuh atau sebagai bubuk. Bumbu ini digunakan di Eropa dan Asia. Terutama di Indonesia, cengkeh digunakan sebagai bahan rokok kretek. Cengkeh juga digunakan sebagai bahan dupa di Tiongkok dan Jepang. Minyak Cengkeh digunakan di aromaterapi dan juga untuk mengobati sakit gigi.

Sejarah Cengkeh

Pada abad yang keempat, pemimpin Dinasti Han dari Tiongkok memerintahkan setiap orang yang mendekatinya untuk sebelumnya menguyah cengkeh, agar harumlah napasnya. Cengkeh, pala dan merica sangatlah mahal di zaman Romazi. Cengkeh menjadi bahan tukar menukar oleh bangsa Arab di abad pertengahan. Pada akhir abad ke-15, orang Portugis mengambil alih jalan tukar menukar di Laut India. Bersama itu diambil alih juga perdagangan cengkeh dengan perjanjian Tordesillas dengan Spanyol, selain itu juga dengan perjanjian dengan sultan dari Ternate. Orang Portugis membawa banyak cengkeh yang mereka peroleh dari kepulauan Maluku ke Eropa. Pada saat itu harga 1 kg cengkeh sama dengan harga 7 gram emas.

Perdagangan cengkeh akhirnya didominasi oleh orang Belanda pada abad ke-17. Dengan susah payah orang Prancis berhasil membudayakan pohon Cengkeh di Mauritius pada tahun 1770. Akhirnya cengkeh dibudayakan di Guyana, Brasilia dan Zanzibar.

Pada abad ke-17 dan ke-18 di Inggris harga cengkeh sama dengan harga emas karena tingginya biaya impor.

2. Tembakau

Tembakau


pohon tembakau

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan:

Plantae

Divisio:

Magnoliophyta

Kelas:

Magnoliopsida

Ordo:

Solanales

Familia:

Solanaceae

Genus:

Nicotiana
L.

Spesies

N. acuminata
N. alata
N. attenuata
N. clevelandii
N. excelsior
N. forgetiana
N. glauca
N. glutinosa
N. langsdorffii
N. longiflora
N. obtusifolia
N. paniculata
N. plumbagifolia
N. quadrivalvis
N. repanda
N. rustica
N. suaveolens
N. sylvestris
N. tabacum
N. tomentosa
Ref: ITIS 30562
menurut 26 Agustus, 2005

Tembakau (Nicotiana spp., L.) adalah genus tanaman yang berdaun lebar yang berasal dari daerah Amerika Utara dan Amerika Selatan. Daun dari pohon ini sering digunakan sebagai bahan baku rokok, baik dengan menggunakan pipa maupun digulung dalam bentuk rokok atau cerutu. Daun tembakau dapat pula dikunyah atau dikulum, dan ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui hidung.

Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin, sejenis neurotoxin yang sangat ampuh jika digunakan pada serangga. Zat ini sering digunakan sebagai bahan utama insektisida.

Etimologi

Bahasa Indonesia tembakau merupakan serapan dari bahasa asing. Bahasa Spanyol "tabaco" dianggap sebagai asal kata dalam bahasa Arawakan, khususnya, dalam bahasa Taino di Karibia, disebutkan mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (menurut Bartolome de Las Casas, 1552) atau bisa juga dari kata "tabago", sejenis pipa berbentuk y untuk menghirup asap tembakau (menurut Oviedo, daun-daun tembakau dirujuk sebagai Cohiba, tetapi Sp. tabaco (juga It. tobacco) umumnya digunakan untuk mendefinisikan tumbuhan obat-obatan sejak 1410, yang berasal dari Bahasa Arab "tabbaq", yang dikabarkan ada sejak abad ke-9, sebagai nama dari berbagai jenis tumbuhan. Kata tobacco (bahasa Inggris) bisa jadi berasal dari Eropa, dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan sejenis yang berasal dari Amerika.

Museum Kretek

Bagi jantung manusia, rokok bisa menjadi petaka. Tapi bagi jantung pemda Kudus, rokok adalah berkah. Tiap tahun industri rokok di kota ini menghasilkan pendapatan rata-rata satu triliun, dan memberi makan lebih dari sembilan puluh ribu karyawan pabrik-pabrik rokok di Kudus.

Umumnya, ada lima koleksi besar alat produksi rokok di museum ini; koleksi gilingan cengkeh (alat perajang cengkeh glondong), koleksi gilingan tembakau (alat pengurai tembakau), koleksi krondo (alat yang digunakan untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dengan yang halus), dan koleksi alat perajang tembakau.

Semua ditata menjadi dua bagian; koleksi peralatan tradisional dan modern. Peralatan tradisional ditata di sisi kiri ruangan, sedangkan yang modern, tertata di sisi kanan ruangan. Tidak main-main, museum ini menyimpan alat-alat tradisional yang langka dan “berumur”. Lihat saja alat penggulung rokok yang berangka tahun 10-10-1938.

Sedangkan untuk perlatan yang tergolong modern banyak berupa asbak, gantungan kunci, korek api, payung, topi, jam, tas, gelas, cangkir, termos, t-shirt dan lain-lain. Logo-logo perusahaan rokok Kudus juga terpampang di sana. Tak hanya logonya, rokok-rokok produksi perusahaan Kudus (dari segala jaman) juga tersimpan di sana, lengkap. Semuanya terpajang di semacam etalase. Letaknya tak jauh dari etalase lain yang berisi koleksi keramik.

Selain itu, ada juga koleksi bahan baku rokok. Ada 17 jenis tembakau dan 10 jenis cengkeh dari berbagai dunia yang ikut nampang di sana. Tak hanya itu, miniatur proses produksi zaman sekarang, mesin produksi masa kini dan gedung pusat pengelola rokok-rokok asli Kudus (ditunjukkan dengan foto-foto) juga tersedia.

Yang menjadi inspirasi pendirian museum ini tak lain adalah Nitisemito. Memang, sejarah rokok Kudus tak bisa dipisahkan dari usaha Nitisemito. Tukang kopi ini pada tahun 1906 mendirikan pabrik rokok bermerk Bal Tiga. Rokok produksinya berupa campuran tembakau dan cengkeh yang dibungkus daun jagung kering yang dibesut (dihaluskan), disebut dengan Klobot. Tak disangka, usaha ini ternyata maju pesat. Setiap harinya, Bal Tiga menghasilkan dua juta batang rokok per hari. Begitu besarnya permintaan itu hingga Nitisemito mengerahkan 6000 orang tenaga buruh. Lama kelamaan, banyak warga Kudus yang meniru jejak Nitisemito.

Rokok



Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain.

Ada dua jenis rokok, rokok yang berfilter dan tidak berfilter. Filter pada rokok terbuat dari bahan busa serabut sintetis yang berfungsi menyaring nikotin.

Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung.

Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.

Manfaat Rokok Bagi Indonesia Raya dan Kita

Industri rokok memiliki cukai yang cukup besar. Pendapatan negara dari perusahaan-perusahaan rokokpun cukup signifikan untuk menambah belanja negara. Seberapapun buruknya efek yang ditimbulkan oleh kegiatan merokok ini, tidak akan menghalangi kejayaan industri-industri rokok nasional. Ini manfaat rokok pertama.

Manfaat kedua. Industri rokok merupakan industri yang sedemikian massif dari segi tenaga. Ini dimungkinkan karena industri ini mampu menyerap tenaga kerja yang luar biasa banyak dibandingkan dengan industri yang lainnya. Larangan penggunaan mesin-mesin industri otomatis dari pemerintah dalam menjalankan roda perusahan rokok mengindikasikan kebutuhan atau ketergantungan pemerintah, terutama soal tenaga kerja, yang sedemikian tinggi. Dengan demikian keberlangsungan hidup masyarakat yang menggantungkan hidup dari pekerjaan mereka di perusahaan rokok ini semakin tinggi. Tanpa rokok berarti tanpa nasi dan dapur yang mengepul. Ini belum dihitung pengangguran yang berhasil diatasi lewat agen-agen rokok maupun para pedagang kecil dan pedagang kaki lima.

Manfaat ketiga. Industri Musik, Televisi, Olah Raga dan sejenisnya berutang cukup banyak dengan Industri Rokok. Konser-konser musik di televisi maupun di kota-kota besar sponsor utamanya jarang sekali yang tidak pabrik rokok. Tanpa andanya sponsor dari perusahaan rokok ini kemungkinan besar hiruk pikuk dunia lagu dan musik di indonesia akan menjadi sunyi. Acara sepak bola mana yang tidak menggunakan sponsor perusahaan rokok? Sejauh yang saya ketahui sebagian besar acara-acara sepak bola maupun olah raga-olah raga lain semisal (bulu tangkis, billiard, tenis, dan yang lainnya) bisa berkembang dan melangsungkan berbagai event pertandingan karena dukungan dari perusahaan ini. Musik tanpa rokok adalah sunyi. Televisi tanpa rokok adalah sepi. Olah raga tanpa rokok adalah redup medali.

Manfaat rokok secara bilogis psikologis. Bagi sebagian banyak orang, rokok adalah teman hidup. Seperti anda membutuhkan makan dan minum maka bagi orang-orang tertentu rokok merupakan sebuah kebutuhan. Jika mereka sedang dirundung masalah atau dirundung kesendirian dan kesepian, rokok bisa menjadi teman berbagi sepi. Rokok menemani kita dikala sedang menunggu sang kekasih. Rokok menemani kita untuk mencairkan suasana dengan calon mertua. Rokok menemani kita dikala menunggu bus yang akan mengantar kita ke suatu tempat. Rokok menemani kita di jenuhnya perjalanan yang melelahkan. Rokok menemani kita dikala kita dirundung percecokkan dengan teman. Jika sehabis makan maka rokoklah cuci mulutnya.

Manfaat rokok dari gaya hidup. Merokok adalah seni, maka merokok juga merupakan sebuah keindahan. Dari mana segi indah dari merokok tersebut? Saya juga tidak begitu mengerti. Walaupun demikian kemungkinan besar pemahaman merokok adalah seni bisa ditelusuri dari perilaku para perokok. Merokok sering kali membutuhkan ketrampilan tertentu. Misanya cara menyulut rokok pun kadang ada ciri khas yang menarik dan membikin perhatian kita. Atau bisa jadi cara melinting bagi yang lebih suka merokok dengan cara ini. Gaya hidup dari para perokok pun bisa berbeda-beda, dan terkadang membikin decak kagum. Memainkan rokok yang berada ditanganpun kadang memerlukan keahlian tertentu. Jenis-jenis rokok pun memiliki segmentasi masyarakat yang berbeda-beda. Mungkin ini yang dinamakan gaya hidup.

Kesimpulan:

Disini saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak berarti bahwa saya mendukung atau memihak para perokok. Dari segi kesehatan dan kenyamanan memang merokok lebih banyak keburukannya di bandingkan manfaatnya. Hanya saja memang perlu regulasi yang lebih baik untuk menyeimbangkan atau menyelaraskan antara manfaat dari rokok dan keburukan dari rokok tersebut. Bagi anda para perokok selamat merokok dan saya anjurkan juga untuk menghormati para non smoker atau yang tidak merokok. Dan bagi para non smoker saya anjurkan juga untuk tidak menghujat atau membenci setengah mati para perusahaan rokok maupun para perokok tersebut. Sebagai sebuah realitas yang kemungkinan akan selalu mengelilingi kita, rokok maupun kebiasaan merokok merupakan sebuah fenomena yang patut kita sikapi dengan kelapangan dan kearifan. Rokok membantu kita sekaligus menghancurkan kita.

Sugesti dari Buldanul mengenai desain kemasan rokok

Berdasarkan desainnya, Buldanul menduga bahwa bungkus rokok itu tidak didesain oleh desainer yang berpendidikan tinggi. Tetapi, desainer lokal yang mempunyai kemampuan menyerap keinginan konsumennya. "Desain-desain ini pas atau akrab dengan konsumennya," ujarnya.

Desain bungkus rokok 'wong cilik' ini di mata Buldanul amat memikat. "Karena unik," katanya. Misalnya, rokok yang ditemukan di Purwodadi tak ditemukan di daerah lain.

Selain itu, perkembangan merek rokok juga sangat cepat seiring dengan perkembangan zaman. Ia mencontohkan pada tahun 1998, ia berkunjung ke pasar tradisional di Pacitan, Jawa Timur. Ketika itu ditemukan 10 jenis rokok berbagai merek.

Dua tahun kemudian, Buldanul berkunjung lagi ke Pacitan. Ternyata ia mendapatkan sejumlah rokok produk baru yang tidak dijumpai sebelumnya. Ia menduga bahwa produk rokok baru ini terus bermunculan sesuai dengan perkembangan zaman.

"Tetapi bisa juga rokok-rokok yang dulu sudah tidak laku kemudian berubah menjadi merek lain. Sehingga para konsumen tidak bosan-bosannya membeli," katanya.


Berdasarkan pengamatannya, ada tiga kategori desain bungkus rokok.

Pertama, bungkus rokok memuat gambar yang akrab di lingkungan masyarakat desa. Ia mencontohkan rokok cap Tuton yang menampilkan gambar orang menumbuk padi, cap Giling bergambar alat penggiling padi.


"
Ada juga cap Kepala Kambing Ideal. Padahal, hubungan dengan rokok ya apa?" ujar Buldanul tergelak. Desain seperti ini yang jadi favoritnya. "Ilustratif. Antara teks dan gambarnya pas."

Kategori kedua adalah desain bungkus rokok mengikuti main stream rokok yang sedang laku di pasaran. Misalnya, rokok Cap 34 sangat mirip dengan rokok 234 (Ji Sam Soe), Gudang Kapas mirip dengan rokok Gudang Garam. Sehingga rokok-rokok rakyat tersebut tidak perlu memasang iklan.

Yang menarik, ujar Buldanul, bungkus rokok ini mampu mensugesti si perokok. "Dengan merokok merek-merek tersebut dapat mengangkat gengsi yang merokok. Kalau mereka merokok 34 seolah-olah mereka merokok Ji Sam Soe," katanya.


Ketiga, desain yang sangat sangat modern, tidak ndeso. Desain bungkus rokok ini bermaksud membidik pasar anak muda desa 'korban perkotaan'. Yakni, mereka yang seharian bekerja di
kota, petang hari pulang ke desa namun penghasilannya cekak. "Dengan merokok merek ini, mereka merasa punya gaya hidup kota meski penghasilannya rendah," ujar dia.