Sabtu, 22 September 2007

Hubungan Rokok dengan Tionghua dan Jawa

Mengapa dan bagaimanakah sebuah area pemakaman (pesarean - bahasa jawa) bisa sebegitu terkenal dan dikunjungi banyak peziarah, khususnya warga Tionghoa? Mari kita telusuri liputannya :

Gunung Kawi yang tingginya 2.860 m dari permukaan laut terletak di Kabupaten Malang - Jawa Timur, tepatnya sekitar 40 kilometer sebelah barat Kota Malang. Sebenarnya bukanlah gunung Kawi-nya yang membuat tempat ini terkenal, tetapi adanya sebuah kompleks pemakaman keramat yang berada di lereng selatan gunung ini yang menjadikannya di datangi banyak orang. Penduduk setempat menyebut area pemakaman tersebut dengan nama "Pesarean Gunung Kawi". Pesarean berarti pemakaman.

Pesarean Gunung Kawi terletak di ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut, tepatnya di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang - Jawa Timur.

Walaupun berada di lereng gunung, Pesarean Gunung kawi ini mudah dijangkau, karena selain jalannya bagus, banyak angkutan umum yang menuju ke
sana.
Dari terminal atau parkiran desa Wonosari, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki menyusuri jalan mendaki bertangga semen bagus, jaraknya kira-kira 750 m. Perjalanan mendaki ini bisa tak membosankan karena kita dapat melihat-lihat di samping kiri kanan jalanan yang dipenuhi dengan restoran, hotel, dan kios penjual souvenir dan perlengkapan sesajian/ritual.
Setelah melewati beberapa gerbang, di ujung jalan kita akan mendapati sebuah pendopo besar yang tertutup dengan 3 pintu masuk. Di dalamnya, terdapat sebuah makam keramat! Makam yang menjadi pusat dari kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut. Makam yang menjadi magnet untuk menarik puluhan ribu orang datang setiap tahunnya. Para Peziarah itu datang untuk menghormati dan sekaligus memohon berkat kepada beliau yang dimakamkan di tempat tesebut, yaitu Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Sudjono. Ya betul, memang dalam satu liang lahat tersebut dimakamkan dua orang Eyang yang merupakan sahabat perjuangan, guru dan murid yang sudah saling mengangkat Bapak-Anak ini (riwayat lengkap : lihat Box)

Semasa hidupnya, kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten
Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.

Setelah Eyang Djoego meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sudjono tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam meninggalnya Eyang Djoego, dan juga peringatan wafatnya Eyang Iman Soedjono setiap tanggal 12 bulan Suro, di tempat ini selalu diadakan perayaan Tahlil Akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan-keturunan Eyang Iman Sujono sampai sekarang.

Dominasi Warga Tinghoa

Rupanya, dengan berjalannya waktu, ritual ziarah kubur ini berkembang menjadi upacara ziarah kubur plus ngalap berkah. Dan uniknya , sekarang boleh dibilang lebih banyak masyarakat Tionghoa yang datang berziarah daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahkan dalam hari-hari tertentu, seperti hari raya Imlek, Natal, dan Idul Fitri, jumlah masyarakat Tionghoa yang datang berziarah jauh lebih banyak daripada masyarakat Jawa sendiri.

Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di Pesarean Gunung Kawi sebenarnya dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie Lam. Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang Iman Sudjono berkat air guci wasiat peninggalan Eyang Djoego. Kemudian, Tan Kie Lam pun ikut berguru di padepokan gunung kawi dan tinggal di
sana. Sebagai seorang Tionghoa, ia mungkin merasa kurang sreg dengan ikut cara ritual masyarakat Jawa. Akhirnya, ia mendirikan sendiri sebuah "kelenteng kecil"-nya sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati kedua almarhum gurunya.
Tetapi yang membuat Pesarean Gunung Kawi ini terkenal adalah seorang Tionghoa yang kemudian menjadi pediri perusahaan rokok Bentoel - sebuah perusahaan rokok besar yang pernah berdiri di
Malang. Sayangnya, akibat krismon ini sekarang terancam bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain.
Konon, sang pendiri PT. Bentoel ini, ketika itu datang untuk berguru olah-kanuragan di padepokan Gunung Kawi. Tetapi oleh sang juru kunci niat itu ditolak dengan alasan bahwa ia tidak pantas menjadi seorang pendekar, tetapi lebih cocok menjadi pedagang saja. Sang juru kunci lantas menyarankan ia pulang saja, sambil membekalinya dua batang bentoel (umbi-umbian).
Sesampai di rumah, ia berpikir bahwa oleh-oleh dua batang bentoel ini pasti punya arti. Akhirnya, ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahan rokok Cap Bentoel maju pesat. Dan sebagai tanda terima kasih dan bhaktinya terhadap Eyang Djoego dan
Eyang Sudjono, ia membagun jalan dan prasarana-prasarana di kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut.

Rupanya, khabar hubungan antara kesusksesan Rokok Benteol dan pesarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas di kalangan masyarakat Tionghoa. Akibatnya langsung bisa ditebak, segera saja banyak masyarakat Tionghoa berbondong-bondong datang ke
sana. Kebetulan kok ya banyak yang berhasil! Bahkan konon, menurut khabar burung biru, nama merk perusahaan angkutan terkenal di Jakarta juga didapat dari mimpi ketika sang pemilik sedang berada di gunung Kawi.

Selain mengikuti upacara ritual standart Islam-Kejawen yang dilakukan oleh para juru kunci makam, para peziarah Tionghoa juga melakukan ritual tionghoanya. Segera saja klenteng kecil buatan Tan Kie Lam dirasa tak bisa lagi menampung membludagnya kaum Tionghoa yang ingin berseEyangyang. Untuk itu dibangunlah tiga buah kelenteng kecil yang letaknya lebih dekat lagi dengan makam. Di ketiga kelenteng ini diisi oleh Dewa Bumi Ti Kong, Dewi Kwan Im, dan kelenteng khusus untuk Ciamsi (ramalan). Sering terlihat lilin-lilin merah besar yang tingginya 2 m atau lebih berjejalan memenuhi kelenteng ini. Di atas sampul plastik lilin-lilin tersebut biasanya tertulis permohonan dari perusahaan atau keluarga tertentu. Bahkan sempat dijumpai, di atas palstik sampul lilin tersebut tercetak gambar sebuah sepeda motor merk Jepang terkenal.
Di bekas kelenteng kecil lama yang di bongkar, dibangun sebuah masjid letaknya berdekatan dengan kelenteng Tionghoa yang baru. Masjid Iman Sujono yang megah ini, konon khabarnya juga sumbangan konglomerat nomor satu
Indonesia, Liem Sioe Liong.

Memang, kecuali dalam pendopo makam, dihampir semua tempat di kompleks makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, seperti Padepokan Eyang Iman Sujono, bekas rumah tinggal Tan Kie Lam, dan pemandian Sumber Manggis, semuanya juga diletakkan altar ritulal khas Tionghoa. Bahkan kedua Eyang mendapat julukan dalam bahasa Tionghoa. Eyang Djego disebut Twa Low She atau Guru Besar Pertama, sedangkan Djie Low She atau Guru Besar Kedua adalah sebutan untuk Eyang Iman Soedjono.

Hasil akhirnya, sekarang kompleks pesarean Gunung Kawi menjadi tempat percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa. Bagi mereka yang pertama kali datang ke gunung kawi pastilah akan mengkerutkan dahi melihat apa yang terjadi di sini.

Adalah menjadi pemandangan sehari-hari di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang Jawa bersarung dan bertopi haji dengan khitmatnya bersoja dengan hio di tangan, sementara disampingnya seorang ibu berkerudung sedang dengan penuh konsentrasai mengocok bambu ramalan (ciamsi). Dan kalau diperhatikan, ternyata para ‘petugas kelenteng’ gunung Kawi ini pun ternyata kebanyakan adalah warga Jawa.

Setelah jam 12 malam, para peziarah Jawa dan Tionghoa larut dalam sebuah ritual khas Gunung Kawi. Mereka berjalan berlawanan arah jarum jam mengelilingi pendopo sebanyak tujuh kali, dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat, sambil menghormat ke dalam makam.
Sementara itu, di dalam Pendopo Makam sendiri dipenuhi para peziarah Jawa dan Tionghoa yang memiliki niatan khusus. Sambil membawa bunga dan kemenyan. Mereka dengan sabar menunggu giliran di doakan di depan nisan oleh para asisten juru kunci. Setelah doa dalam bahasa Jawa dan Arab digumamkan, biasanya para peziarah akan mendapat "bunga layon" (bunga layu) yang sudah ditaburkan dari makam. Khabarnya bunga tersebut memiliki khasiat pembawa rezeki dan pengobatan. Uniknya, banyak peziarah yang menempatkan bunga tersebut di kantong merah dan kuning yang bergambar lambang Pakua dan bertuliskan huruf Tionghoa. Yang merah cocok untuk ditempatkan di tempat usaha, sedangkan yang kuning digantung ditempat tinggal.

Berbaurnya dua budaya dan ritual Jawa dan Tionghoa ini terlihat mencolok lagi pada peringatan malam satu suro lalu. Dalam kompleks pemakaman tersebut setidaknya ada 3 tempat perunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu yang dipesan oleh warga Tionghoa sebagai kaulnya. Sementara itu beberapa warga masyarakat Jawa berpartisipasi memberikan angpau kepada barongsai yang sedang beraksi.

Upacara sembayangan khusus di depan makam 1 Suro yang sedianya dimulai
pukul 1.00 malam akhirnya baru bisa dimulai pukul 5.30 pagi karena menunggu matangnya sesajian yang dipesan para peziarah.

Sore hari tanggal 1 Suro (15 Maret 2002) diadakan upacara arak-arakan desa. Tiap RT dari desa Wonosari mengirimkan rombongan wakilnya. Mereka berpakaian adat Jawa Timuran sambil membawa tandu-tandu berisisi aneka sesembahan. Di tengah iring-iringan warga Jawa dan Tionghoa yang juga diiringi tarian jawa ini menyelip juga barongsai, tarian singa khas Tionghoa.
Entah apakah peristiwa semacam ini pernah terlintas di benak oleh Eyang Djoego dan Eyang Iman Soedjono semasa hidupnya. Tapi yang jelas hari Satu Suro lalu, masyarakat Jawa dan Tionghoa juga berbaur beriringan bersama-sama mengucapkan doa syukur, mengalap berkah - memuja bhakti di Pesarehan Gunung Kawi. (Herwiratno)