Senin, 05 November 2007

Gambar Arjuna dalam berbagai versi

Wayang JANAKA


JANAKA adalah nama ARJUNA setelah ia dewasa

Sumber : Ensiklopedia wayang

Dalam tokoh Arjuna mempunyai banyak nama, antara lain: Permadi, Pamade, Janaka, Palguna, Anaga, Panduputra, Barata, Baratasatama, Danasmara, Danajaya, Gudakesa, Ciptaning, Kritin, Kliti, Kariti, Kumbawali, Kumbang Ali-ali, Kundiputra, Kuruprawira, Kurusatama, Kurusreta, Mahabahu, Margana, Parantapa, dan Parta.

Arti nama Janaka atau Arjuna biasa digunakan untuk menyebutkan Arjuna setelah ia dewasa.

Arjuna adalah orang ketiga dari Pandawa lima, putra Dewi Kunti. Kata “Arjuna” dalam bahasa Sansekerta artinya putih atau bening, bersih. Dalam perwayangan, Arjuna merupakan tokoh popular selain karena kesaktiaanya, ketampanannya, juga karena banyak lakon wayang melibatkannya namanya.

Selain tampan, Arjuna sejak kecil gemar menuntut ilmu. Untuk menambah ilmunya, jika perlu Arjuna berkelana ke negeri lain. Ia merupakan murid yang paling disayangi Begawan Drona. Guru Besar yang bekerja bagi Kerajaan Astina itu bahkan pernah berjanji, tidak akan mengajarkan ilmunya kepada murid lain, selengkap yang diajarkan Arjuna. Putra Kunti ini juga dikenal sebagai ksatria tekun bertapa.

Sebagai salah seorang dari Pandawa, Arjuna mempunyai dua kakak dan dua orang adik. Abangnya yang sulung adalah Yudistira alias Puntadewa, kelak raja di Amarta dengan Prabu Darmakusuma. Sesudah itu, abangnya yang kedua, bernama Bima alias Harya Sena, Wijasena, Bratasena, atau Wrekudara. Adik kembar, bernama Pinten dan Tangsen, yang juga dikenal dengan nama Nakula dan Sadewa.

Walupun resminya Arjuna adalah putra raja Astina, namun sesungguhnya ia adalah putra Batara Endra. Hal ini disebabkan Prabu Pandu Dewanata sendiri tidak dapat membuahkan keturunan, karena kekeliruan yang dibuatnya ia terkena kutukan. Kutukan itu menyebutkan Pandu Dewanata akan mati seketika bilamana ia memadu kasih bersama istrinya. Sejak itulah Pandu tak berani tidur bersama istrinya.

Karena harus ada keturunan untuk melanjutkan dinasti yang memerintah Astina, Pandu mengizinkan istrinya memanggil dewa yang dikehendakinya guna membuahi Kunti. Kebetulan Kunti memiliki Aji Adityahredaya yang dipelajarinya dari Resi Druwasa. Ilmu ini menyebabkannya ia kuasa memanggil dewa mana saja. Dan, sebagai bagi ayah Arjuna, Dewi Kunti memanggil Batara Endra. Itulah sebabnya, Arjuna juga bernama Endratanaya atau Endraputra.

Namun sebagai manusia, Arjuna pun memiliki beberapa kekurangan. Ketampanan wajah dan ilmu tinggi yang dimilikinya beberapa kali disalahgunakan. Dalam tokoh perwayangan tokoh Arjuna menggambarkan karakter manusia yang berilmu tinggi tetapi kadang-kadang ragu dan bimbang dalam bertindak.

Istri Arjuna banyak. Ada 41 orang jumlahnya. Namun para istri Arjuna yang cukup terkenal antara nlain adalah Subrada, Larasati, Ulupi, Lestari, Manoara, Ratri, Gandawati, banowati, Manikhara, Citrahoyi, Wilutama, Supraba, dan Dresanala. Tiga nama yang disebut terakhir adalah bidadari.

Pada Wayang Golek Purwa Sunda, nama istri Arjuna lainnya Puspawati, Srimendang, Manikarya, Suyati, dan Partawati. Karena begitu banyak istri Arjuna, sampai-sampai Ki dalang mengatakan, istri Arjuna saketi kurang siji, yang artinya satu juta kurang satu. Jadi ada 999.999 orang.

Walaupun sudah demikian banyak istrinya, karena ketampanan dan sikapnya yang lemah lembut, Arjuna tetap saja dicintai banyak wanita. Antara lain oleh iparnya sendiri, yaitu Dewi Banowati menikah denan penguasa Kerajan Astina itu, putri cantik itu minta agar Arjunalah yang memandikan dan meriasnya. Dewi Banowati baru terlaksana menjadi isri Arjuna setelah janda, seusai Baratayuda.

Anak arjuna yang terkenal antara lain adalah Abimayu, Bambang Irawan, Bmabang Sumitra, Wisanggeni, Bratalaras, Wilugangga, Priyambada, Wijanarka, dan Caranggana. Sedangkan anak perempuannya, antara lain Dewi Pregiwa dan pregiwati.

Semua anak laki-laki gugur dalam baratayuda, tidak seorang pun yang hidup. Demikian pula salah seorang istrinya, Srikandi. Prajurit wanita yang berjasa karena mengalahkan Resi Bisma itu tewas dibunuh Aswatama pada saat tidur. Dewi Banowati, janda Prabu Anom Duryudana, yang hanya beberapa waktu menjadi istrinya juga mati dibunuh Aswatama.

Tentang banyaknya istri Arjuna, budayawan penulis buku-buku wayang Soenarto Timoer berpendapat bahwa itu hanya merupakan simbolisme. Sebagian besar istri Arjuna adalah putri pendeta, pertapa, yang merupakan guru Arjuna. Memperistri putri para resi yang menjadi gurunya, merupakan simbol dari keberhasilan Arjuna menyadap ilmu dari Guru.

Selain berkemapuan terbang, Arjuna juga banyak memiliki senjata pusaka. Sebagian besar senjata itu pemberian para dewa, diantaranya Pulanggeni, Pasopati, Kalanadah, Sarotama, Kalamisani. Keris Kyai Kalanadah dalam perwayangan dikatakan berasal dari taring Batara Kala, kemudian dihadiahkan kepada gatot kaca sebagai kancing geliung ketika putra Bima itu menikahi Dewi Pregiwa. Anak panah pustaka milik Arjuna juga cukup banyak, diantaranya adalah Pasopati, Sarutama, Ardadedali, dan Agnirastra



Perusahaan Periklanan Pertama

Periode tahun 1963-1967 InterVista juga tercatat sebagai perusahaan periklanan pertama yang melakukan adaptasi terhadap film iklan yang berbahasa lnggris, meskipun proses produksinya masih dikerjakan di Singapura. Bahkan pada periode ini InterVista sudah memiliki seorang sutradara untuk membuat film-film ikian para kliennya. Salah satu film iklan yang sangat sukses saat itu adalah iklan Ardath.


Meskipun InterVista dianggap sebagai perusahaan periklanan modern pertama di Indonesia, namun ia ternyata bukanlah yang pertama melakukan kerja sama dengan perusahaan periklanan asing.Tahun 1960, Franklyn, perusahaan perikianan milik orang Belanda, kemudian berganti nama menjadi Bhineka, sudah bekerja sama dengan Young & Rubicam, salah satu perusahaan periklanan raksasa dan Amerika.



Penggunaan Slogan oleh Nuradi tokoh Bumiputera

Menurut Nuradi, kekuatan lnterVista terletak justru pada akar budaya Indonesia. Pendapat ini mungkin benar, kalau kita memperhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti:

· Produk susu kental manis : Indomilk sedaaap.

· Produk bir : Bir Anker. ini Bir Baru, lni Baru Bir

· Produk rokok putih : Makin mesra dengan Mascot

· Produk skuter :Lebih baik naik Vespa.

Tokoh Tionghua dalam Biro Reklame

Periklanan Indonesia Modern (1967-1972)

Contoh iklan rokok

Tokoh Tionghua dalam Biro Reklame

MENJELANG akhir abad ke-19 biro-biro reklame yang dimiliki dan dikelola oleh Tionghoa mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya berdampak buruk bagi dunia usaha,termasuk terhadap banyak percetakan pers milik orang-orang Belanda. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok Tionghoa.


Pelopor periklanan dan kelompok ni adalah Yap Goan Ho, yang memiliki biro reklame di
Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di biro reklame De Locomotief. Yap Goan Ho, yang terjun di bisnis percetakan khusus mencetak buku dan bahan untuk sekolah dan kantor, memulai penerbitan suratkabar sendiri di Batavia, SinarTerang (1888-1898). Biro reklamenya yang diberi nama Yap Goan Ho dikontrak olah suratkabar miliknya sendiri, Sinar Terang. Pada 1894 Yap Goan Ho berupaya menerbitkan suratkabar Cha bar Berdagang, sebuah koran pengiklan komersial.Tetapi koran itu tak berlanjut karena tak mendapatkan respon yang menggembirakan dan pelanggan.


Kebanyakan iklan yang ditangani Yap Goan Ho adalah produk buku, khususnya yang diterbitkan untuk masyarakat Tionghoa. Setelah Sinar Terang ditutup, Yap Goan Ho berusaha mengembangkan sendini biro reklamenya. Untuk itu dia mengumpulkan modal dengan mencari iklan bagi beberapa sunatkabar.Dia mengkhususkan din pada iklan-iklan pelelangan barang milik pejabat Belanda yang akan mengakhiri masa jabatan di Hindia Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini terutama ditujukan kepada khalayak bumiputera, dan sebagian besar dimuat di suratkabar De Locomotief.

Tokoh lainnya adalah Lie Bian Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, biro reklame Lie Bian Goan juga dikontrak dan disokong oleh suratkabar sendini, yakni dwimingguan Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1894-1912. Iklan yang menonjol dan biro reklame ini adalah produk pecah-belah. Khalayak sasarannya adalah penduduk Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Di luar Jawa tercatat nama Kadhool. Seperti Yap Goan Ho, dia juga mantan penulis naskah di biro reklame De Locomotief. Kadhool bersekolah di
Hwee Koan, China. Biro reklamenya bernama Firma Tie Ping Goan.



Penggunaan LOGO

Beberapa perusahaan besar sudah mulai berani menggunakan sedikit teks dan sekaligus menyadari betapa penting khalayak sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya, berbeda dan teori perikianan, banyak produk maupun merek baru tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Selain itu, nuansa yang tercipta dan iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya untuk tujuan penjualan (sales) semata.


Popularitas penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek menciptakan lahan bisnis baru untuk biro reklame. Yaitu merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian, dan citra produk yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut. Beberapa perusahaan bahkan meminta biro reklame untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (gedeponeerd) merek atau logo produk tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang’.


Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan kesadaran mereka terhadap sebuah logo. Situasi mi membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu muncul banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya mereka akhirnya merasa perlu memuat iklan pengaduan, atau sekadar menjelaskan tentang perbedaan logo produknya dan milik perusahaan lain. Ironisnya, beberapa di antara mereka yang punya kemiripan logo dan memuat iklan pengumuman ini bahkan sama-sama belum terdaftar.

Sejarah Periklanan

SEJARAH PERIKLANAN DI INDONESIA

sumber: Reka Reklame (Sejarah Periklanan di Indonesia 1744-1984)

Iklan Media Pertama


Pemanfaatan iklan untuk menunjang pemasanan sudah lama dikenal para pengelola suratkabar. Suratkabar Bientang Timoor (Sumatra), yang diterbitkan Zadelhoff dan Fabritius, masing-masing pemilik toko buku dan percetak di Padang, telah menggunakan iklan untuk meluncurkan produknya.

Iklan tersebut tampil dalam konsep penulisan naskah atau teks yang informatif, persuasif, dan unik yang ditujukan pada segmentasi pembaca yang terarah. Iklan tersebut secara sugestif juga memberikan pengaruh politis karena menampilkan pejabat bumiputera yang mempunyai otoritas tradisional maupun birokratis dalam struktur pemerintahan kolonial, dan ini merupakan terobosan yang bernilai kreatif tinggi. Keberanian menampilkan tokoh kharismatik sebagal maskot penarik perhatian telah mengukuhkan iklan produk Abdijsiroop sebagai pelopor penggunaan konsep kekuatan politik dalam strategi komunikasi pemasaran.

Biro Reklame sebagai Agen Distribusi Produk

Biro reklame pertama yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa adalah NVljong Hok Long pada 1901 yang kemudian diikuti oleh Bureau Rekiame Lauw Djin — keduanya berdomisili di Solo. Selanjutnya disusul oleh biro-biro reklame di Semarang seperti Liem Eng Tjang & Co.,Tjioe Twan Ling, dan Ko Tioen Siang.Tjong Hok Long dan Lauw Djin awalnya sering memproduksi iklan-iklan batik yang tergabung dalam perusahaan Kong Sing. Modal maupun peralatan produksi biro-biro reklame ini masih sangat sederhana. Iklan-iklan yang dihasilkan umumnya tetap menggunakan tulisan tangan, dan produk-produk yang diiklankan terbatas pada kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti batik, sabun, rokok, dan obat-obatan.

Rintisan Biro Reklame Bumiputera

KEMUNCULAN biro reklame milik bumiputera diawali dan kemunculan klien-klien perusahaan rokok dan batik. lklan-iklan mereka bahkan cukup maju karena telah berhasil menampilkan unsur persuasi yang sejajar dengan kebutuhan informasi produk. Khususnya karena masa itu banyak orang belum menyadari bahwa unsur informasi bagi konsumen sama penting dengan unsur persuasi bagi produsen. Dengan perkataan lain, ciri iklan adalah lebih menjadikannya sebagai sarana informasi, akibat tidak adanya akses informasi lain tentang produk atau produsen yang dapat diperoleh masyarakat.


Biro reklame bumiputera yang pertama adalah Medan Prijaji mluk R.M.Tirtoadisoerjo, yang menangani produk rokok dan batik. Tetapi biro reklame yang terkenal adalah NV Hardjo Soediro. NV Hardjo Soediro yang sering mena-ngani produk rokok merancang iklan berikut ini untuk suratkabar SinarHindia, 20 Juli 1916:


Rokok Kiobot.
Selarnanja selaloe sedia Rokok-Kiobot bikinan Djokja. Klobotnja terpilih jang moeda dan manis bikinan rapi, boleh dapet dan ternbaco Kedoe dan siloek No. I.
1.000 batang model pandjang harga f 2, 1.000 batang model pendek harga 11,60. Lain onkost kirim.
Pesenan 5.000 batang dikirirn franco, boleh kirim oewang lebih doeloe atawa rembours.
Toenggoe pesenan N.y Hardjo Soediro Djojonegaran, Djogja


Ciri iklan-iklan yang sekadar meringkas informasi tidak terlepas dan struktur masyarakat dan situasi sellers market (pembeli mencari barang) di masa itu. Lebih-lebih lagi,karena hampir seluruh produk kebutuhan sehari-hari masyarakat,dari sabun hingga mobil, diimpor dari Eropa, khususnya dan Negeri Belanda.

Kebanyakan Industri Rokok dimiliki Orang-orang Tionghua (1932-1933)

Industri rokok di Jawa yang berpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Awalnya industri rumahan, kemudian polanya bergerak menjadi produksi pabrik. Kebanyakan industri rokok ini dimiliki oieh orang-orang Tionghoa. Selama empat tahun (1929-1933), tingkat pertumbuhan produksi rokok terus meningkat dan 10% hingga 36%4.Selain rokok, pada 1935 para pengusaha Tionghoa juga memasuki industri-industri lain yang berskala menengah. Di antaranya garmen, obat-obatan, percetakan, dan sabun. Sebaliknya, pengusaha-pengusaha Belanda tetap mempertahankan industri skala atas dan menengah, antara lain mobil, bank, radio, bir, biskuit, perhotelan, dan jam. Usaha-usaha manufaktur kaum bumiputera sendiri tetap terbatas pada produk-produk berskala kecil, seperti batik, penjahit, dan rokok klobot.


Hingga tahun 1940-an pasar Hindia Belanda umumnya didominasi oleh produk-produk manufaktur yang diimpor dan Eropa, Jepang, maupun Amerika Serikat, dan juga produksi Hindia Belanda. Kategori produk-produk ini sebagian besar kebutuhan sehari-hari dan industri rumahan, seperti batik dan rokok kretek.

Aspek-aspek Penting Iklan

1. Periklanan saat itu sudah dituntut untuk memilih kata-kata yang sederhana dan langsung, sehingga maknanya dapat Iebih cepat ditangkap oleh calon konsumen.

2. Kata-kata yang dipilih harus pula punya kaitan dengan produk yang diiklankan.

3. Iklan harus mampu secara cepat dildentifikasikan oleh khalayak sasarannya sebagai produk khusus untuk mereka.

Metode dan teknik baru periklanan yang diperkenalkan di Indonesia menyebabkan banyak perusahaan kecil dan menengah tumbuh menjadi perusahaan besar. Mereka umumnya mempelajari teknik-teknik baru periklanan dan negara-negara maju.

Perkembangan Surat kabar di Jawa

Kondisi suratkabar dan periklanan di luarJawa memang tak sebaik di Jawa, balk dan segi tiras maupun pendapat iklannya. Di Makassar dan sekitarnya, misalnya,jumlah suratkabar yang besar malah menimbulkan kompetisi yang tidak fair, khususnya ketika berebut mendapatkan iklan. Hal mi malahan menjadi bumerang yang memberikan pukulan bahkan bagi kehidupan suratkabar di sana. Sejak pemasang klan mengetahui isi dapur suratkabar, dengan mudah mereka mendapatkan ruang iklan yang besar dengan pengeluaran uang yang sedikit. Kondisi ekonomi itu karena bukanlah barang yang mencari uang tapi uang yang memburu barang (seller’s market). Bahkan,”Pada tahun 1950-an, meskipun jika kita meludah di atas selembar kertas, itu akan laku” 2 Sehingga, apa yang diiklankan ketika barang-barang itu bisa dijual tanpa menggunakan atau meletakkan iklan di suratkabar?


Perkembangan suratkabar di Jawa relatif jauh lebih baik. Apalagi, pada 1954 beberapa sunatkabar sudah memiliki mesin percetakan atas prakarsa pemerintah. Suratkabar Pedoman dan Abadi di Jakarta, Pikiran Rakyat (Bandung), Suara Merdeka (Semarang), Suara Umum (Sunabaya), dan Mimbar Umum (Medan) memunyai mesin percetakan sendiri yang diperoleh melalui kredit dan Bank Industri.

Hambatan Utama Industri Dalam Negeri

Hambatan utama industri perikianan dalam negeri adalah kekurangan bahan baku atau peralatan kebutuhan industri dan perkebunan yang sebagian besar masih impor. Ini mengakibatkan hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang membutuhkan jasa periklanan. Menarik untuk diketahui bahwa meskipun perkembangan perekonomian belum mapan, namun pada 1954 sempat terselenggara Pekan Raya Ekonomi Internasional (PRED.Maksud diselenggarakan PREP untuk memperkenalkan produk-produk nasional kepada dunia. Dalam pekan raya ini terlibat beberapa biro reklame nasional ikut meramaikan pekan raya tersebut, seperti Balai Iklan di Bandung, Aneta, Indonesia Reclame and Advertentie Bureau (IRAB),dan Korra di Jakarta.

Biro-biro reklame menyadari persepsi masyara kat yang menganggap rendah mutu segala produk yang dibuat oleh industri dalam negeri. Sampai-sampai mereka berpikir perlu suatu kampanye Bell Bikinan Indonesia, meskipun untuk melakukan “ge-rakan propaganda” ini mereka mengalami banyak hambatan akibat masih terbatas industri-industri pendukung periklanan. Bisa jadi mereka mengambil pelajaran dan apa yang dilakukan industri periklanan lnggris pada masa yang bersamaan, yaitu kampanye”Buy British”.


Di lnggris kampanye ”beli bikinan sendiri”diselenggarakan oleh semacam Dewan Periklanan (Ad Council). Dewan ini merupakan suatu lembaga yang dibentuk mewakili masyarakat periklanan (pengikian, biro reklame, dan media) serta pemerintah, terutama dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri.


Dalam kaitan ini, suratkabar Merdeka di Jakarta, bahkan ikut menyarankan agar Radio Republik lndonesia (RRI) pun terbuka untuk beriklan, khususnya untuk barang-barang yang dibuat di dalam negeri. Upayaupaya ni memang memiliki banyak kemungkinan yang positif bagi industri dalam negeri. klan sebagai salah satu cara menyampaikan informasi tentang produk tetaplah relevan, terutama agar calon konsumen mengetahui bahwa sudah begitu banyak barang yang dibuat oleh putra-putra
Indonesia, atau setidaknya sudah diproduksi di Indonesia”.



Sabtu, 03 November 2007

Rokok Kretek

Awal usaha Kretek

Nitisemito sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.

Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.

Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor.

Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.

Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).

Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta


Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing

Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.

Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.

Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.

Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.

Di era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan.


Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa

Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan.

Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.

Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.

about rokok

Sejarah rokok di Indonesia adalah sejarah Kudus. Dalam catatan Raffles dan Condolle disebutkan, kebiasan merokok di Jawa sudah ada sejak abad ke-17. Bahkan, Raja Mataram Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645 dicatat Onghokham dan Amen Budiman sebagai chain smoker (perokok berat). Akan tetapi, tak satu pun dari catatan sejarah itu yang memperkenalkan rokok secara komersial kecuali seorang haji asal Kudus bernama Djamahari pada akhir abad ke-19.

Kediri dan Malang, dua dari tiga kota industri rokok di Indonesia --termasuk Kudus-- selalu berebut menyebut diri, ''Kamilah kota kretek Indonesia.'' Namun, baik Kediri maupun Malang tak memiliki Haji Djamahari yang telah menjadi ikon rokok dan menjadi buah bibir masyarakat karena telah menyembuhkan sendiri penyakitnya sesudah mengisap rokok bercengkih.

Mereka pun tak memiliki Haji Ilyas dan Haji Abdul Rasul yang memproduksi rokok secara massal sebagai pendahulu-pendahulu sejarah kesaudagaran rokok di Kudus. Suatu sejarah panjang rokok kretek sampai pada juragan rokok Bal Tiga Nitisemito yang tersohor itu.

Kini, rokok telah tumbuh menjadi industrial idol negara. Pemasukan negara atas industri ini pada 2003 adalah Rp 27 triliun. Dari industri ini, Kudus menyumbang hampir Rp 6 triliun per tahun.

Ibarat gula, industri ini telah menjadi tempat kerubutan ratusan ribu tenaga kerja yang mengisap manis dari pahitnya tembakau dan cengkih. Bila dahulu Barat, seperti disebut the old man Agus Salim, menjajah dunia karena cengkih, maka industri rokok kini menjadi tempat penziarahan panjang angkatan kerja yang menanti kesempatan ngelinting tembakau dan cengkih dan tempat hidup bagi para petani penghasil rempah-rempah itu.

Rokok telah menjadi candu bagi tenaga kerja, petani, saudagar rokok, dan juga negara. Dan, kita (juga saya) seperti kata Fromberg dalam Opium to Java adalah pengisap candu sekaligus terisap oleh industri rokok dan negara. Itulah kenapa rokok selalu berada dalam ironi: dicaci sekaligus didamba.

Karena itu, ketika negara secara tegas memberlakukan ketentuan tar dan nikotin, sesungguhnya negara tidak sedang mencaci rokok karena negara mendambakannya. Negara hanya sedang berkompromi secara malu-malu dengan Barat yang dahulu menjajahnya untuk sebuah kepentingan bernama paru-paru manusia.