RM Danardono HADINOTO
Gumaman mantra doa mengalun ditengah kepulan wangi asap dupa dan taburan bunga. Suara kemrecek bambu ciamsi beradu terdengar di antara asap hio dan nyala lilin-lilin merah. Inilah suasana malam 1 Suro di gunung Kawi, tempat di mana ritual budaya Jawa terajut dengan ritual Budaya Tionghoa.
Malam 1 Suro - tgl 15 Maret 2002 lalu, area Pesarean (Pemakaman) Gunung Kawi dikunjungi oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah telah berdatangan sejak sore hari. Mereka memenuhi penginapan-penginapan yang memang banyak terdapat di daerah sekitar pesarean tersebut. Sambil beristirahat beristirahat, mereka menunggu saat datangnya tengah malam di mana berbagai upacara ritual akan diselenggarakan. Para pedagang bunga, kemenyan, lilin, hio dan perlengkapan sesaji lainnya sibuk melayani para peziarah. Kios pedagang makanan dan restoran terus kebanjiran pelanggan. Sementara itu, di sebuah dapur yang luas dengan beberapa tungku dan penggorengan besarnya, beberapa ibu-ibu terus sibuk menggoreng ratusan ekor ayam utuh yang dipesan para peziarah untuk upacara sesaji malam harinya. Pertunjukan wayang kulit dan barongsai ikut meramaikan suasana. Singkatnya, sepanjang malam itu, pesarean gunung kawi lebih mirip pasar malam dari pada sebuah kompleks pemakaman. Malam itu, kesan seram, angker, dan tempat ‘mencari kekayaan dengan cara nyupang, golek pesugihan, atau muja’ yang seperti yang dibayangkan banyak orang tentang "Gunung Kawi", seolah tenggelam oleh hingar-bingar para pengunjung.