Senin, 05 November 2007

Sejarah Periklanan

SEJARAH PERIKLANAN DI INDONESIA

sumber: Reka Reklame (Sejarah Periklanan di Indonesia 1744-1984)

Iklan Media Pertama


Pemanfaatan iklan untuk menunjang pemasanan sudah lama dikenal para pengelola suratkabar. Suratkabar Bientang Timoor (Sumatra), yang diterbitkan Zadelhoff dan Fabritius, masing-masing pemilik toko buku dan percetak di Padang, telah menggunakan iklan untuk meluncurkan produknya.

Iklan tersebut tampil dalam konsep penulisan naskah atau teks yang informatif, persuasif, dan unik yang ditujukan pada segmentasi pembaca yang terarah. Iklan tersebut secara sugestif juga memberikan pengaruh politis karena menampilkan pejabat bumiputera yang mempunyai otoritas tradisional maupun birokratis dalam struktur pemerintahan kolonial, dan ini merupakan terobosan yang bernilai kreatif tinggi. Keberanian menampilkan tokoh kharismatik sebagal maskot penarik perhatian telah mengukuhkan iklan produk Abdijsiroop sebagai pelopor penggunaan konsep kekuatan politik dalam strategi komunikasi pemasaran.

Biro Reklame sebagai Agen Distribusi Produk

Biro reklame pertama yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa adalah NVljong Hok Long pada 1901 yang kemudian diikuti oleh Bureau Rekiame Lauw Djin — keduanya berdomisili di Solo. Selanjutnya disusul oleh biro-biro reklame di Semarang seperti Liem Eng Tjang & Co.,Tjioe Twan Ling, dan Ko Tioen Siang.Tjong Hok Long dan Lauw Djin awalnya sering memproduksi iklan-iklan batik yang tergabung dalam perusahaan Kong Sing. Modal maupun peralatan produksi biro-biro reklame ini masih sangat sederhana. Iklan-iklan yang dihasilkan umumnya tetap menggunakan tulisan tangan, dan produk-produk yang diiklankan terbatas pada kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti batik, sabun, rokok, dan obat-obatan.

Rintisan Biro Reklame Bumiputera

KEMUNCULAN biro reklame milik bumiputera diawali dan kemunculan klien-klien perusahaan rokok dan batik. lklan-iklan mereka bahkan cukup maju karena telah berhasil menampilkan unsur persuasi yang sejajar dengan kebutuhan informasi produk. Khususnya karena masa itu banyak orang belum menyadari bahwa unsur informasi bagi konsumen sama penting dengan unsur persuasi bagi produsen. Dengan perkataan lain, ciri iklan adalah lebih menjadikannya sebagai sarana informasi, akibat tidak adanya akses informasi lain tentang produk atau produsen yang dapat diperoleh masyarakat.


Biro reklame bumiputera yang pertama adalah Medan Prijaji mluk R.M.Tirtoadisoerjo, yang menangani produk rokok dan batik. Tetapi biro reklame yang terkenal adalah NV Hardjo Soediro. NV Hardjo Soediro yang sering mena-ngani produk rokok merancang iklan berikut ini untuk suratkabar SinarHindia, 20 Juli 1916:


Rokok Kiobot.
Selarnanja selaloe sedia Rokok-Kiobot bikinan Djokja. Klobotnja terpilih jang moeda dan manis bikinan rapi, boleh dapet dan ternbaco Kedoe dan siloek No. I.
1.000 batang model pandjang harga f 2, 1.000 batang model pendek harga 11,60. Lain onkost kirim.
Pesenan 5.000 batang dikirirn franco, boleh kirim oewang lebih doeloe atawa rembours.
Toenggoe pesenan N.y Hardjo Soediro Djojonegaran, Djogja


Ciri iklan-iklan yang sekadar meringkas informasi tidak terlepas dan struktur masyarakat dan situasi sellers market (pembeli mencari barang) di masa itu. Lebih-lebih lagi,karena hampir seluruh produk kebutuhan sehari-hari masyarakat,dari sabun hingga mobil, diimpor dari Eropa, khususnya dan Negeri Belanda.

Kebanyakan Industri Rokok dimiliki Orang-orang Tionghua (1932-1933)

Industri rokok di Jawa yang berpusat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Awalnya industri rumahan, kemudian polanya bergerak menjadi produksi pabrik. Kebanyakan industri rokok ini dimiliki oieh orang-orang Tionghoa. Selama empat tahun (1929-1933), tingkat pertumbuhan produksi rokok terus meningkat dan 10% hingga 36%4.Selain rokok, pada 1935 para pengusaha Tionghoa juga memasuki industri-industri lain yang berskala menengah. Di antaranya garmen, obat-obatan, percetakan, dan sabun. Sebaliknya, pengusaha-pengusaha Belanda tetap mempertahankan industri skala atas dan menengah, antara lain mobil, bank, radio, bir, biskuit, perhotelan, dan jam. Usaha-usaha manufaktur kaum bumiputera sendiri tetap terbatas pada produk-produk berskala kecil, seperti batik, penjahit, dan rokok klobot.


Hingga tahun 1940-an pasar Hindia Belanda umumnya didominasi oleh produk-produk manufaktur yang diimpor dan Eropa, Jepang, maupun Amerika Serikat, dan juga produksi Hindia Belanda. Kategori produk-produk ini sebagian besar kebutuhan sehari-hari dan industri rumahan, seperti batik dan rokok kretek.

Aspek-aspek Penting Iklan

1. Periklanan saat itu sudah dituntut untuk memilih kata-kata yang sederhana dan langsung, sehingga maknanya dapat Iebih cepat ditangkap oleh calon konsumen.

2. Kata-kata yang dipilih harus pula punya kaitan dengan produk yang diiklankan.

3. Iklan harus mampu secara cepat dildentifikasikan oleh khalayak sasarannya sebagai produk khusus untuk mereka.

Metode dan teknik baru periklanan yang diperkenalkan di Indonesia menyebabkan banyak perusahaan kecil dan menengah tumbuh menjadi perusahaan besar. Mereka umumnya mempelajari teknik-teknik baru periklanan dan negara-negara maju.

Perkembangan Surat kabar di Jawa

Kondisi suratkabar dan periklanan di luarJawa memang tak sebaik di Jawa, balk dan segi tiras maupun pendapat iklannya. Di Makassar dan sekitarnya, misalnya,jumlah suratkabar yang besar malah menimbulkan kompetisi yang tidak fair, khususnya ketika berebut mendapatkan iklan. Hal mi malahan menjadi bumerang yang memberikan pukulan bahkan bagi kehidupan suratkabar di sana. Sejak pemasang klan mengetahui isi dapur suratkabar, dengan mudah mereka mendapatkan ruang iklan yang besar dengan pengeluaran uang yang sedikit. Kondisi ekonomi itu karena bukanlah barang yang mencari uang tapi uang yang memburu barang (seller’s market). Bahkan,”Pada tahun 1950-an, meskipun jika kita meludah di atas selembar kertas, itu akan laku” 2 Sehingga, apa yang diiklankan ketika barang-barang itu bisa dijual tanpa menggunakan atau meletakkan iklan di suratkabar?


Perkembangan suratkabar di Jawa relatif jauh lebih baik. Apalagi, pada 1954 beberapa sunatkabar sudah memiliki mesin percetakan atas prakarsa pemerintah. Suratkabar Pedoman dan Abadi di Jakarta, Pikiran Rakyat (Bandung), Suara Merdeka (Semarang), Suara Umum (Sunabaya), dan Mimbar Umum (Medan) memunyai mesin percetakan sendiri yang diperoleh melalui kredit dan Bank Industri.

Hambatan Utama Industri Dalam Negeri

Hambatan utama industri perikianan dalam negeri adalah kekurangan bahan baku atau peralatan kebutuhan industri dan perkebunan yang sebagian besar masih impor. Ini mengakibatkan hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang membutuhkan jasa periklanan. Menarik untuk diketahui bahwa meskipun perkembangan perekonomian belum mapan, namun pada 1954 sempat terselenggara Pekan Raya Ekonomi Internasional (PRED.Maksud diselenggarakan PREP untuk memperkenalkan produk-produk nasional kepada dunia. Dalam pekan raya ini terlibat beberapa biro reklame nasional ikut meramaikan pekan raya tersebut, seperti Balai Iklan di Bandung, Aneta, Indonesia Reclame and Advertentie Bureau (IRAB),dan Korra di Jakarta.

Biro-biro reklame menyadari persepsi masyara kat yang menganggap rendah mutu segala produk yang dibuat oleh industri dalam negeri. Sampai-sampai mereka berpikir perlu suatu kampanye Bell Bikinan Indonesia, meskipun untuk melakukan “ge-rakan propaganda” ini mereka mengalami banyak hambatan akibat masih terbatas industri-industri pendukung periklanan. Bisa jadi mereka mengambil pelajaran dan apa yang dilakukan industri periklanan lnggris pada masa yang bersamaan, yaitu kampanye”Buy British”.


Di lnggris kampanye ”beli bikinan sendiri”diselenggarakan oleh semacam Dewan Periklanan (Ad Council). Dewan ini merupakan suatu lembaga yang dibentuk mewakili masyarakat periklanan (pengikian, biro reklame, dan media) serta pemerintah, terutama dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri.


Dalam kaitan ini, suratkabar Merdeka di Jakarta, bahkan ikut menyarankan agar Radio Republik lndonesia (RRI) pun terbuka untuk beriklan, khususnya untuk barang-barang yang dibuat di dalam negeri. Upayaupaya ni memang memiliki banyak kemungkinan yang positif bagi industri dalam negeri. klan sebagai salah satu cara menyampaikan informasi tentang produk tetaplah relevan, terutama agar calon konsumen mengetahui bahwa sudah begitu banyak barang yang dibuat oleh putra-putra
Indonesia, atau setidaknya sudah diproduksi di Indonesia”.